

Sabtu sore, 10 Mei 2025, langit Bangkalan mendung tipis. Saya tiba di Stadion Gelora Bangkalan (SGB) beberapa jam sebelum kick-off.
Di luar stadion, semangat para pendukung Madura United sudah terasa. Warna merah mendominasi jalanan, spanduk dukungan terbentang, dan para pedagang sibuk menjajakan atribut tim kesayangan: Laskar Sape Kerrab.
Pertandingan melawan Borneo FC Samarinda ini bukan laga biasa. Dengan hanya menyisakan dua pertandingan di Liga 1 musim ini, Madura United masih terjebak di papan bawah klasemen.
Posisi ke-13 dengan 33 poin belum menjamin mereka selamat dari ancaman degradasi. Satu kemenangan di laga ini bisa berarti napas lega bagi seluruh suporter Madura.
Kick-off dimulai tepat pukul 15.30 WIB. Sorak-sorai penonton menggema di seluruh penjuru stadion. Sepanjang babak pertama, Madura United bermain cukup agresif. Tekanan demi tekanan dilancarkan, meski belum menghasilkan gol. Harapan penonton masih tinggi… hingga menit terakhir babak pertama tiba.
Di masa injury time, Mariano Peralta dari Borneo FC sukses mencetak gol. Sebuah sepakan yang membuat Miswar Saputra tak berkutik dan para penonton tertunduk lesu. Gol itu seperti palu godam yang merontokkan semangat stadion sejenak.
Namun, babak kedua menyajikan cerita berbeda. Di menit ke-51, Youssef Ezzejjari berhasil menyamakan kedudukan lewat sundulan memanfaatkan umpan silang matang. Tak butuh waktu lama, Taufik Hidayat menambah gol kedua untuk Madura. Stadion meledak. Para pendukung berpelukan, menyalakan flare, dan bernyanyi lebih keras dari sebelumnya. Skor 2-1—Madura unggul!
Sayangnya, seperti petir di siang bolong, keunggulan itu tidak bertahan lama. Di menit ke-80, Ronaldo Redregues mencetak gol penyeimbang untuk Borneo. Dan tak berselang lama, Borneo harus bermain dengan 10 orang setelah salah satu pemainnya menerima kartu merah karena akumulasi kartu kuning.
Banyak yang mengira Madura akan mampu memanfaatkan keunggulan jumlah pemain. Tapi nasib berkata lain.
Stefano Lilipaly, pemain pengganti Borneo, masuk dan langsung memberi dampak. Di menit-menit akhir, ia mencetak gol ketiga untuk tim tamu. Madura United kembali tertinggal 2-3.
Puncak drama terjadi saat Madura mendapat hadiah penalti menjelang peluit panjang dibunyikan. Semua penonton berdiri. Lulinha maju sebagai eksekutor. Tapi… tendangannya melambung jauh di atas mistar gawang. SGB seketika membeku. Beberapa pendukung menutupi wajah dengan syal, sebagian lainnya hanya duduk diam menatap lapangan kosong.
Skor akhir 2-3 untuk kemenangan Borneo FC menjadi hasil yang berat diterima oleh Madura United dan para pendukungnya. Namun sore itu di SGB bukan hanya tentang kalah dan menang. Saya menyaksikan sendiri bagaimana cinta dan loyalitas warga Madura terhadap tim mereka tidak goyah meskipun tim kesayangan tumbang di kandang sendiri.
Seorang bapak tua di tribun selatan berujar lirih kepada anaknya yang menangis, “Lain kali, kita menang. Hari ini belum rezekinya.”
Sore itu saya pulang membawa banyak rasa. Bukan hanya kesedihan, tapi juga kebanggaan—bahwa sepak bola di Madura bukan sekadar permainan. Ia adalah identitas, semangat, dan harapan yang terus menyala, bahkan di tengah kekalahan.

No Comments