x

Budaya “Nyikep” Sikap Ksatria yang Harus Ditinggalkan

3 minutes reading
Thursday, 8 May 2025 14:19 145 Komunitas Kabar Madura

Karakteristik orang Madura yang keras dan ngeyel rupanya tergambar dari sikap keseharian ketika membawa celurit. Celurit yang dimaksud disini adalah senjata tajam berbentuk “?” menjadi ciri khas dari orang Madura.

Proses pembuatan senjata tajam konon katanya tidak asal dibuat. Beberapa pelaku pandai besi mengatakan proses pembuatan celurit umumnya menggunakan baja yang ditempa ratusan derajat celsius. Selain itu celurit yang dijadikan alat pertahanan diri bahkan menggunakan ritual khusus setiap malam jumat.

Celurit yang sudah ditempa secara khusus diyakini oleh sebagian masyarakat Madura memberikan kepercayaan diri hingga dianggap melindungi dari ancaman serangan.

Celurit tidak hanya sekedar untuk alat pertahanan diri. Celurit juga menjadi sebuah identitas ksatria laki-laki dewasa di Madura. Dengan kata lain celurit adalah simbol keberanian dan kekuatan bagi yang memilikinya.

Oleh karenanya, sangat mudah menjumpai laki-laki ketika keluar rumah atau dalam tenang saja, dipunggung seseorang terdapat tonjolan. Tonjolan ini adalah celurit yang disangkur dan diselipkan sisi paha.

Orang Madura menyebutnya “Nyikep” Apa kaitannya dengan fenomena saat ini? Sudah ada dua rujukan terkait fenomena yang berkaitan. Pertama, peristiwa pembunuhan di Bangkalan menggunakan celurit terhadap istri dan selingkuhan nya.

Kedua, pembunuhan di depan RSUD Ketapang Sampang yang disinyalir cekcok soal harga diri.Fenomena ini menguatkan tradisi budaya membawa celurit adalah sikap ksatria laki-laki dewasa. Celurit tidak akan pernah keluar dari sangkurnya apabila tidak memenuhi 3 kriteria. Apa saja? Harga diri!

Harga diri implementasi dari pepatah Madura “ango’ah pote tolang e tembheng pote matah” (lebih baik putih tulang ketimbang putih mata). Jika di terjemahkan: Menginjak-injak harga diri manusia sama halnya menyerahkan nyawanya. Hal ini yang masih diyakini masyarakat Madura.

Kedua, membawa atau selingkuh dengan istri orang yang sah. Fatal sekali jika sampai terjadi. Orang Madura hampir tidak memikirkan aspeh hukum positif. Apabila terjadi kondisi seperti ini, orang Madura mengabaikan tindakan hukum negara.

Ketiga, harta! Contohnya begini, jika terjadi perselisihan tanah sengketa, perampasan hak duniawi seseorang. Orang Madura akan menyelesaikan secara ksatria, yaitu bisa saja terjadi duel head to head carok. Hampir mustahil menyelesaikan secara perdata.

Kondisi dari tiga aspek peristiwa di atas berkaitan dengan dengan penggunaan celurit. Celurit sebagai mana dijelaskan diawal, memiliki celurit adalah simbol keberanian dan kekuatan. Jika tiga kriteria diatas tidak segera diselesaikan, maka di anggap laki-laki lemah. Lemah dalam konteks Madura adalah sikap pengecut.

Masyarakat Madura memilih tindakan carok untuk menyelesaikan persoalan demi memulihkan harga diri. Carok ini sebagai jalan terakhir. Meskipun dianggap pemberani, budaya “nyikep” sudah tidak kontekstual. Membawa atau “nyikep’ celurit sebagai tindakan provokatif. Oleh karenanya ini sudah semestinya ditinggalkan.

Kondisi zaman saat ini sudah tidak memungkinkan. Selain melanggar hukum, membawa celurit akan berdampak buruk pada generasi selanjutnya.

Anak anak yang melihat seseorang mambawa celurit boleh jadi akan ditiru. Lebih baik celurit ditempatkan yang aman. Gunakan sebagai ketika kondisi terdesak untuk pertahanan diri dari ancaman kejahatan.

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LAINNYA
x